Mengenai Saya

Foto saya
Nama asli saya Eka Surya Widjaja, Asal sih sebenernya dari lampung, tapi sekarang lagi kuliah di Jakarta tepatnya universitas Bina Nusantara alias binus University... Kalo ad yang mau kenal lebih deket add my friendster: missing_boys2007@yahoo.com or add my Ym:missing_boys2007@yahoo.com

Sabtu, 30 Agustus 2008

"Ranjang Hi-Tech Goyang Hidrolik"

Kehidupan malam di Jakarta penuh dengan variasi dan kejutan. Belum basi variasi yang satu, muncul inovasi baru yang lain. Sebuah ranjang cinta hi-tech memberi variasi baru kehidupan malam Jakarta. Dan baru dua unit di sebuah club di kawasan Kota. Konon khusus didatangkan dari China. Dan konon pula bisa melancarkan peredaran darah dan menyehatkan. Tapi sebetulnya dibuat sebagai media bercinta dengan berbagai variasi.

Ketika pertama kali diberitahu ada penawaran inovasi menakjubkan di sebuah club di kawasan Kota, Andre (bukan nama sebenarnya) tak percaya. Apa pula ini, inovasi itu bernama sex bed, atau erotic massage bed. Sepertinya diada-ada,” bathin Andre. Sebagai lelaki petualang kehidupan malam, ia merasa wajib membuktikan dulu kebenaran informasi dari temannya tersebut.

Tak urung suatu malam, dan tak usah harus menunggu weekend, Andre mengarahkan tunggangannya, mobil Opel Blazer hitam ke club yang kadang memang jadi tujuannya untuk santai. “Gue heran bisa sampai ketinggalan info soal ranjang hi-tech ini. Semakin parah, karena begitu gue dikasih tahu, sepertinya info tersebut terasa diada – ada,” bathinnya lagi sambil menyetir mobil kesayangannya.

Kantornya yang berada di Warung Buncit, Jakarta Selatan, diarahkan ke kawasan Kota. Saat itu jam 7 malam lewat. Jam-jam dimana hampir seluruh Jakarta dilanda kemacetan. “Lumayan sebagai penguji kesabaran,” bathinnya.

Namun malam itu ia tak merasa penat, karena disebelahnya didampingi seorang ada anak buahnya yang cantik –sebut saja Emily. Anak buahnya itu mengetahui Andre menuju kawasan Kota dan lewat jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, dimana Emily kost. Jadi Emily nebeng mobil Andre hingga Hayam Wuruk.

Hubungan Emily masuk dalam kategori HTS (hubungan tanpa status) dengan Andre. Mungkin karena tiap hari bertemu di kantor, dan sama-sama single. Namun karena keduanya menganut paham ‘hubungan bebas’. Jadi keduanya tak saling berusaha untuk meneruskan benih-benih hubungan tersebut ke jenjang yang lebih serius. Dan keduanya tak masalah, juga bagi Emily.

Ditemani anak buahnya yang berasal dari Manado itu, perjalanan yang diwarnai kemacetan malam itu terasa tak lagi menyebalkan. Karena suasana didalam mobil bersama anak buahnya terasa berbunga-bunga. Sesekali Emily menyandarkan kepalanya di pundak Andre yang kekar. Dan Andre membalas dengan belaian kecil di rambut anak buahnya itu. Bahkan sesekali Andre yang menyetir tak terlalu membutuhkan konsentrasi serius lantaran macet sempat ngesun pipi Emily beberapa kali.

Emily sempat bertanya untuk keperluan apa ke Kota? Andre menjawab, ‘bertemu klien lama’. Emily tak mempermasalahkan. Sekitar setengah jam setelah menurunkan anak buahnya di sebuah plaza di jalan Gajah Mada, mobil Andre melintasi halte busway Jakarta Kota. Tak lama kemudian U-turn dan siap masuki gerbang club.

Ketika melihat tulisan besar nama club itu, Andre mengakui dirinya memang lama tak menyambangi club penuh inovatif ini. “Emang lama gue nggak clubbing kesini,” katanya seperti berbicara dengan dirinya sendiri. “Pantas kalau gue ketinggalan info. Sekarang Jakarta semakin macet, sih. Jadi terasa semakin jauh dari Warung Buncit kearah Kota.”

Pesan untuk anak muda

malam itu gue hang out sm teman2 di bilang tempat eksotis bgeett, cahay berkilauan dengan tatanan ruang yang yah bs di bilang baguslah.. tapi apa sebenarnya yang ada di dalamnya hanya sebuah tempat orang2 memuakan banyaknya minuman terlarang gadis2 mudah yang dengan rela disentuh hanya karena uang, gila bgeettt.. dimana tak ada lagi harga diri serta martabat, tempat tuk melepas masalh they sayz?? halah stupid bgeet orang yang bilang like that!! kenapa juga harus ketempat seperti apa yang di cari coba, yang ada sekumpulan sampah berserakan di sebuah ruangan, sedih gue ngeliat ce begitu mudah disentuh kaum lelaki yang haus dengan sexs, ga mikir apa mereka hal apa yang mereka sedang buat!! hanya kenistaan, aalgi kalau para kaum co yang dah setengah baya, mereka ga inget apa dengan keluarga anak mereka dirumah, iiiih jijik bgeet gue, semoga allah melindungi para sista di forum ini, materi bukan segalanya, ga guna hal itu jika harus ngorbanin kehormatan kita,kebahagiaan wat gue tak lain cm ingin hidup sederhana gue punya co shaleh ga perlu kemewahan jika hal itu wat gue menghalalkan sgala cara tuk meraihnya,, kita wanita !! kita ga lemah, kita punya harga diri dan punya martabat gmn seorang wanita dapat menjadi isteri yang baik sedangkan moralnya bejat, karena karma bukan kita saja yang menerim bs juga anak2 keturunan kita,, kita ga pernahkan mau hai ltiu terjadi!! so becareful !! jangan pernah lepas dr NYA

Jakarta Under Cover

Kota-kota besar memang sangat kental dengan berbagai sajian hiburannya. Kota-kota yang kerap dijuluki kota metropolitan seperti halnya Jakarta, punya ciri khas tersendiri dalam gaya hidup dan perilaku masyarakatnya. Gaya hidup yang paling khas di kota-kota besar tersebut adalah kehidupan malam. Kehidupan malam memang memiliki fenomena yang sangat menarik, sehingga tak habis-habisnya diamati, dikaji, dan dianalisa. Berbagai bisnis hiburan pun ada yang mengkhususkan hidup di malam hari seperti kafe, diskotek, klub, karaoke, dan tempat-tempat sejenisnya. Sebagai sebuah hiburan, di tempat-tempat tersebut beragam menu disajikan.

Gebyar kehidupan malam Jakarta seperti ini tentu sangat diminati sekelompok orang yang mencari sebentuk kepuasan pribadi, yang haus akan kebebasan dari belenggu aktivitas rutin sehari-hari. Ujung- ujungnya, tak jauh dari seks dan uang. Kehidupan semacam ini bisa diibaratkan sebuah medan magnet yang setiap saat bisa menggaet ’siapa pun’ masuk ke dalamnya, bahkan menjerumuskan dalam satu kehidupan semu dan samar. Di Jakarta, aneka warna kesenangan hidup bisa ditemukan di mana-mana, seperti di sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar hampir di setiap sudut kota, dari yang bertarget market untuk kalangan bawah, menengah, sampai jet set.

Fenomena ini kerap menjadi bagian liputan seorang Moammar Emka, sejak mejadi wartawan Harian Berita Yudha, Majalah Prospek, Tabliod Suaka Metro, Majalah Popular, hingga freelancer MATRA. Artikel-artikel yang pernah diterbitkannya ditambah beberapa artikel yang belum pernah diterbitkan di media mana pun ini yang kemudian disusunnya menjadi buku. Buku ini adalah sebuah perjalanan panjang Emka, menelusuri setiap fenomena kehidupan malam masyarakat Jakarta, khususnya mereka yang suka menghambur-hamburkan uang untuk mencari kenikmatan pribadi.

Dalam peliputannya Emka tidak saja masuk ke dalam berbagai tempat hiburan, tapi juga masuk dalam suatu kegiatan yang sengaja diadakan sekelompok orang, seperti pesta yang sengaja diselenggarakan sebagai bentuk penyaluran dalam memuaskan diri.

Ternyata dari berbagai perjalanan Emka, bisa kita dapati betapa bervariasinya menu hiburan malam di Jakarta. Namun hampir semua tak dapat lepas dari pemujaan terhadap kenikmatan badaniah (seks). Ada pijat, lulur, dan mandi uap lengkap dengan pedikur oleh sejumlah wanita cantik. Ada seks di dalam mobil-mobil mewah, yang oleh Emka diistilahkan “bulan madu pajero goyang”. Ada pula yang sudah berupa hunian khusus, di mana pria dan wanita bercampur jadi satu. Bahkan, ada yang lebih spektakuler, yakni memakan sushi-daging khas Jepang-di atas tubuh wanita bugil. Inilah yang oleh Emka diistilahkan sebagai ’sex sandwich sashimi girls’.

Pokoknya sekali putar Kota Jakarta, seorang penikmat menu ini sudah pasti menghabiskan jutaan rupiahnya. Bagi mereka yang berduit dan suka memanjakan diri untuk melampiaskan kebebasan seksualnya, Jakarta memang segalanya. Akan tetapi, sebagai menu yang telah dikomoditaskan itu, seks di Jakarta sesungguhnya tak lebih sebagai barang semu dan sangat artifisial.

Untuk memberikan variasi rasa pada pelanggan, setiap minggu atau bahkan setiap hari, menu itu memang selalu diubah dan diganti. Tapi, sesungguhnya tak satu pun yang mampu memberikan rasa kedalaman dalam diri, karena semua ujungnya adalah uang. Rayuan, kemanjaan yang disajikan perempuan-perempuan cantik di sana hanyalah bagian dari mekanisme pasar yang digerakkan oleh logika kapital.

Penuturan Emka ini cukup dramatis menggambarkan korelasi antara seks dan uang dalam kehidupan malam Jakarta. Sisi ini telah dipermak oleh para pebisnis kelenjar menjadi mesin yang begitu cepat untuk mencetak uang. Desahan, belaian, kelembutan, kecantikan, dan semacamnya telah dihargai secara nominal dan matematis.

Dari perilaku seksualnya, manusia memang bisa saja memperoleh gairah untuk menjalani hidup. Namun, bila semua tabu dan norma telah dilucuti, tentu amat sulit untuk membangkitkan kegairahan dalam menghayati kehidupan.

Fakta tentang kehidupan seksual di keremangan Jakarta yang diungkap Emka dalam buku ini, jelas tidak akan mampu memberikan makna mendalam bagaimana orang memahami kebutuhan seksnya. Sebab, sebagai komoditas, seks tak lebih sebagai model artifisial yang memanjakan libido.

Semua ini membuktikan bahwa gaya hidup metropolis lebih suka memanjakan kenikmatan hidup yang artifisial ketimbang merefleksikan kehidupan secara mendalam. Lebih suka gaya daripada makna. Betapa harga segala-galanya ketimbang nilai. Norma dan moral dilucuti dengan satu tujuan: bebas dari belenggu kehidupan. Telanjang dan bebas.

Memang, dalam seluruh tulisannya, Emka sama sekali tidak memberikan sebuah penilaian atau analisis terhadap apa yang ia saksikan dan alami. Tapi, informasi dan fakta-fakta dari hasil investigasinya itu harus diakui merupakan satu informasi yang sangat mahal dan luar biasa yang tidak setiap orang mampu mendapatkannya.

Namun demikian Emka tak bermaksud menjadikan buku ini semacam sex-guide-tour. Meskipun obyek yang dia tulis ini menyangkut soal yang tak lepas dari dunia seks dan kemesuman. Untuk itu Emka menghindari uraian yang berbau pornografi. Ia sadar benar bahwa pada dasarnya yang ia ingin sampaikan hanyalah menyingkap realitas kehidupan malam Jakarta yang sebenarnya.

Menelusuri Kehidupan Remang di Jakarta

GEBYAR kehidupan malam, di kafe, diskotek, klub, karaoke, dan tempat-tempat hiburan lain, memang telah menjadi semacam menu sajian hiburan di kota-kota besar seperti Jakarta. Sebagai sebuah hiburan, di tempat-tempat tersebut beragam menu disajikan.

BUDAYA gebyar malam ini selalu dicari oleh sekelompok orang yang mencari sebentuk kepuasan pribadi, atau mencoba mencari oase pembebasan dari belenggu aktivitas rutin sehari-hari. Ia telah menjadi semacam magnet yang menarik siapa saja yang ada di sekelilingnya. Ujung- ujungnya, tak jauh dari seks dan uang.

Moammar Emka, mantan wartawan Popular, menelusuri dunia remang-remang tersebut di kota metropolitan Jakarta dengan aneka ragam gayanya. Ia melakukan perjalanan panjang, menelusuri setiap fenomena kehidupan malam masyarakat metropolis, khususnya mereka yang suka menghambur-hamburkan uang untuk mencari kenikmatan pribadi.

Emka tidak saja masuk dalam berbagai bentuk tempat hiburan, tapi juga masuk dalam satu momentum yang sengaja diadakan sekelompok orang, seperti pesta yang sengaja diselenggarakan sebagai bentuk memuaskan diri.

Dari penelitian Emka inilah, kita bisa melihat betapa menu hiburan di dunia malam Jakarta itu demikian bervariasi. Namun, yang terjadi selalu saja pemujaan terhadap kenikmatan badaniah (seks). Ada pijat, lulur, dan mandi uap lengkap dengan pedikur oleh sejumlah wanita cantik.

Ada sebuah hunian khusus, di mana pria dan wanita bercampur jadi satu. Ada seks di dalam mobil-mobil mewah, yang oleh Emka diistilahkan "bulan madu pajero goyang".

Sekali putar Kota Jakarta, pengguna menu ini mesti membayar jutaan rupiah. Ada yang lebih spektakuler, yakni memakan sushi, daging khas Jepang, di atas tubuh wanita bugil. Inilah yang oleh Emka diistilahkan sebagai "sex sandwich sashimi girls".

Bagi mereka yang berduit dan suka memanjakan diri untuk melampiaskan kebebasan seksualnya, Jakarta memang segalanya. Akan tetapi, sebagai menu yang telah dikomoditaskan itu, seks di Jakarta sesungguhnya tak lebih sebagai barang semu dan sangat artifisial.

Memang, setiap minggu atau bahkan setiap hari, seperti yang diungkap Emka, menu itu selalu berubah-ubah dan berganti untuk memberikan rasa variasi pada pelanggan. Tapi, sesungguhnya tak satu pun yang mampu memberikan rasa kedalaman dalam diri, karena semuanya ujungnya adalah uang. Rayuan, kemanjaan yang disajikan perempuan-perempuan cantik di sana hanyalah bagian dari mekanisme pasar yang digerakkan oleh logika kapital.

TULISAN Emka ini menggambarkan cukup dramatis di mana seks dan uang, di dalam dunia malam Jakarta telah saling rajut. Ia telah dipermak oleh para pebisnis kelenjar menjadi mesin yang begitu cepat untuk mencetak uang. Desahan, kelembutan, belaian, kecantikan tubuh, dan yang semacamnya telah dihargai secara nominal dan matematis.

Dengan seksualitasnya, manusia memang bisa saja memperoleh gairah untuk menjalani hidup. Namun, bila semua tabu dan norma telah dilucuti, tentu amat sulit untuk membangkitkan kegairahan dalam menghayati kehidupan.

Fakta tentang kehidupan seksual di keremangan Jakarta yang diungkap Emka dalam buku ini, jelas tidak akan mampu memberikan makna mendalam bagaimana orang memahami kebutuhan seksnya. Sebab, sebagai komoditas, seks tak lebih sebagai simulasi artifisial yang memanjakan libido.

Ini semua membuktikan bahwa gaya hidup metropolis ternyata lebih suka memanjakan kenikmatan hidup yang artifisial ketimbang merefleksikan kehidupan secara mendalam. Mereka lebih suka gaya daripada makna.

Kebudayaan mereka nyata telah dikendalikan oleh nafsu syahwatiah. Norma dan moral (agama maupun sosial) dilucuti, dengan satu tujuan: tak ada lagi belenggu dalam hidup. Semuanya terbuka dan bebas.

BUKU ini oleh Emka dipersiapkan hampir enam tahun selama menjadi wartawan. Ada 24 topik yang ia uraikan. Beberapa di antaranya merupakan bagian dari laporan investigasi atau pengamatan mendalam yang ia lakukan selama menggeluti dunia jurnalistik dengan fokus peliputan nite-intertainment dan sex-industry di beberapa media, seperti Prospektif, Matra, dan Popular.

Semua yang ditulis Emka itu, seperti ditegaskannya sendiri, bukanlah sebuah cerita fiksi atau hasil nguping dari mulut ke mulut. Tapi, merupakan hasil investigasinya yang mendalam dan partisipatif, di mana ia ikut melibatkan diri secara langsung ke dalam obyek yang dia tulis.

Itu sebabnya, sebagai hasil sebuah investigasi, buku ini sangatlah mahal, karena mampu membuka selubung kehidupan malam sebagian masyarakat Jakarta yang suka memanjakan syahwat. Perlu diketahui saja, menyangkut masalah yang menjadi obyek investigasi Emka ini memang cenderung tertutup dan tersembunyi.

Memang, dalam seluruh tulisannya di buku ini, Emka sama sekali tidak memberikan sebuah penilaian atau analisis terhadap apa yang ia saksikan dan alami. Tapi, informasi dan fakta-fakta dari hasil investigasinya itu harus diakui merupakan satu informasi yang sangat mahal dan luar biasa yang tidak setiap orang mampu mendapatkannya.

Meski obyek yang dia tulis di buku ini menyangkut soal yang tak lepas dari dunia seks dan kemesuman, Emka menghindari uraian yang berbau pornografi. Ia sadar benar bahwa pada dasarnya yang ia ingin sampaikan hanyalah menyingkap realitas kehidupan malam Jakarta yang sebenarnya. Dan, dalam konteks ini pula, ia tak bermaksud menjadikan buku ini semacam sex-guide-tour.

Jakarta di malam hari..

Jam telah menunjukkan pukul 22.00, aku bersama temanku masih ingin nongkrong. Malam-malam begini mau ke mana ya kalau sekedar ingin ngopi. Akhirnya pilihan jatuh pada Mc Donald - Kemang (yang di Jakarta bukan Bekasi ;-)), katanya baru di renovasi dan buka 24 jam.

Sudah lama aku tidak 'meninjau' daerah Kemang. Terlihat banyak perubahan-perubahan dan yang jelas semakin ramai. Yang paling menonjol adalah Kemang Foodstal. Berbagai jelas makanan ada di sana. Dari yang tradisional sampai modern alias franchise. Di kanan kiri terlihat ABG nongkrong. Hmmm, ini hari apa ya!!! Sepertinya baru hari Rabu dan sudah lewat dari jam 10.00 malam. Benar-benar gaul nichh.

Singkat cerita kami memasuki Mc Donald yang juga masih padat (ramai). Kami menghampiri kassa Mc Cafe dan memesan coklat panas. Sambil celingukan aku mencari tempat duduk yang strategis untuk ngeceng. Akhirnya aku menemukan tempat duduk yang bisa memandang ke segala penjuru.

Pertama-tama, temanku melihat ada sudut komputer yang akhirnya kami ketahui tempat hotspot. Di belakang tempat duduk kami adalah areal merokok alias sudah di luar gedung tapi masih berupa beranda.

Aku mulai mengedarkan mata dengan menyusuri orang-orang yang berkunjung disana. Rupanya cukup beragam. Mataku jatuh pada sekelompok ABG yang sedang mengobrol dalam grup-grup kecil. Serasa diriku muda lagi (habis masih berpakaian ala kantor). Kemudian aku melihat kelompok suami istri. Ada yang sedang makan dengan anaknya bahkan dengan cucunya. Rupanya ini acara makan keluarga... Wah, ini makan malam atau kudapan menjelang tengah malam!!!

Di pojok yang lain aku melihat bule makan sendirian, tak lama ada bule lain masuk dan makan sendiri saja. Melihat mereka, rasanya acuh tak acuh dengan keadaan sekitar yang cukup hiruk pikuk.

Di sisi lain ada orang sedang menunggu entah teman, entah klien ataupun siapapun mereka. Aku berasumsi menunggu karena di depan tidak ada makanan dan minuman. Hanya bolak balik memandang ke arah pintu. Setelah menunggu agak lama, yang di nantipun tiba...mulailah mereka berbincang-bincang.

Nach...ini yang menarik, tiba-tiba ada seseorang yang berkata, 'nomer 5'. Aku pikir, ngapain sich nich orang, sudah duduk manis di kursi yang berbentuk sofa kok teriak-teriak nomer. Aha, rupanya dia si 'tarrot teller'. Sewaktu di kasir memang aku membaca Tarrot Eevery Wednesday. Rupanya mereka sedang ber'tarrot' ria. Ada seorang remaja yang di tarrot. Setelah selesai seorang bapak yang dikelilingi oleh entah teman atau keluarga...menjadi pendengar yang baik. Aku sempat tergoda ingin mencoba...

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12.00 malam, suasanapun sudah mulai sepi walaupun tidak sarat pengunjung. Kamipun memutuskan untuk beranjak dari sana. Sebelum kami angkat kaki, aku sempat melihat sekelompok anak ABG Korea yang membuka laptop. Entah apa yang hendak mereka lakukan. Bikin pekerjaan rumah atau tugas atau sekedar berbagi info yang ada di laptop mereka.

Aku hanya berpikir, beginilah kehidupan Jakarta yang tidak ada matinya. Dari ABG sampai kakek nenek masih keluyuran diatas jam 10 malam bahkan sampai lewat tengah malam. Belum lagi beragam orang yang bisa kita amati...cukup menjadi entertaiment bagiku pada malam itu.

Untukku sendiri (yang jarang keluyuran malam...ngakunya :-)) serasa ini baru jam 19.00 atau besok ga ngantor ya... Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku berkata dalam hati, semoga besok tidak ngantuk di kantor...Selamat Malam Jakarta, kota yang tidak pernah tidur.