GEBYAR kehidupan malam, di kafe, diskotek, klub, karaoke, dan tempat-tempat hiburan lain, memang telah menjadi semacam menu sajian hiburan di kota-kota besar seperti Jakarta. Sebagai sebuah hiburan, di tempat-tempat tersebut beragam menu disajikan.
BUDAYA gebyar malam ini selalu dicari oleh sekelompok orang yang mencari sebentuk kepuasan pribadi, atau mencoba mencari oase pembebasan dari belenggu aktivitas rutin sehari-hari. Ia telah menjadi semacam magnet yang menarik siapa saja yang ada di sekelilingnya. Ujung- ujungnya, tak jauh dari seks dan uang.
Moammar Emka, mantan wartawan Popular, menelusuri dunia remang-remang tersebut di kota metropolitan Jakarta dengan aneka ragam gayanya. Ia melakukan perjalanan panjang, menelusuri setiap fenomena kehidupan malam masyarakat metropolis, khususnya mereka yang suka menghambur-hamburkan uang untuk mencari kenikmatan pribadi.
Emka tidak saja masuk dalam berbagai bentuk tempat hiburan, tapi juga masuk dalam satu momentum yang sengaja diadakan sekelompok orang, seperti pesta yang sengaja diselenggarakan sebagai bentuk memuaskan diri.
Dari penelitian Emka inilah, kita bisa melihat betapa menu hiburan di dunia malam Jakarta itu demikian bervariasi. Namun, yang terjadi selalu saja pemujaan terhadap kenikmatan badaniah (seks). Ada pijat, lulur, dan mandi uap lengkap dengan pedikur oleh sejumlah wanita cantik.
Ada sebuah hunian khusus, di mana pria dan wanita bercampur jadi satu. Ada seks di dalam mobil-mobil mewah, yang oleh Emka diistilahkan "bulan madu pajero goyang".
Sekali putar Kota Jakarta, pengguna menu ini mesti membayar jutaan rupiah. Ada yang lebih spektakuler, yakni memakan sushi, daging khas Jepang, di atas tubuh wanita bugil. Inilah yang oleh Emka diistilahkan sebagai "sex sandwich sashimi girls".
Bagi mereka yang berduit dan suka memanjakan diri untuk melampiaskan kebebasan seksualnya, Jakarta memang segalanya. Akan tetapi, sebagai menu yang telah dikomoditaskan itu, seks di Jakarta sesungguhnya tak lebih sebagai barang semu dan sangat artifisial.
Memang, setiap minggu atau bahkan setiap hari, seperti yang diungkap Emka, menu itu selalu berubah-ubah dan berganti untuk memberikan rasa variasi pada pelanggan. Tapi, sesungguhnya tak satu pun yang mampu memberikan rasa kedalaman dalam diri, karena semuanya ujungnya adalah uang. Rayuan, kemanjaan yang disajikan perempuan-perempuan cantik di sana hanyalah bagian dari mekanisme pasar yang digerakkan oleh logika kapital.
TULISAN Emka ini menggambarkan cukup dramatis di mana seks dan uang, di dalam dunia malam Jakarta telah saling rajut. Ia telah dipermak oleh para pebisnis kelenjar menjadi mesin yang begitu cepat untuk mencetak uang. Desahan, kelembutan, belaian, kecantikan tubuh, dan yang semacamnya telah dihargai secara nominal dan matematis.
Dengan seksualitasnya, manusia memang bisa saja memperoleh gairah untuk menjalani hidup. Namun, bila semua tabu dan norma telah dilucuti, tentu amat sulit untuk membangkitkan kegairahan dalam menghayati kehidupan.
Fakta tentang kehidupan seksual di keremangan Jakarta yang diungkap Emka dalam buku ini, jelas tidak akan mampu memberikan makna mendalam bagaimana orang memahami kebutuhan seksnya. Sebab, sebagai komoditas, seks tak lebih sebagai simulasi artifisial yang memanjakan libido.
Ini semua membuktikan bahwa gaya hidup metropolis ternyata lebih suka memanjakan kenikmatan hidup yang artifisial ketimbang merefleksikan kehidupan secara mendalam. Mereka lebih suka gaya daripada makna.
Kebudayaan mereka nyata telah dikendalikan oleh nafsu syahwatiah. Norma dan moral (agama maupun sosial) dilucuti, dengan satu tujuan: tak ada lagi belenggu dalam hidup. Semuanya terbuka dan bebas.
BUKU ini oleh Emka dipersiapkan hampir enam tahun selama menjadi wartawan. Ada 24 topik yang ia uraikan. Beberapa di antaranya merupakan bagian dari laporan investigasi atau pengamatan mendalam yang ia lakukan selama menggeluti dunia jurnalistik dengan fokus peliputan nite-intertainment dan sex-industry di beberapa media, seperti Prospektif, Matra, dan Popular.
Semua yang ditulis Emka itu, seperti ditegaskannya sendiri, bukanlah sebuah cerita fiksi atau hasil nguping dari mulut ke mulut. Tapi, merupakan hasil investigasinya yang mendalam dan partisipatif, di mana ia ikut melibatkan diri secara langsung ke dalam obyek yang dia tulis.
Itu sebabnya, sebagai hasil sebuah investigasi, buku ini sangatlah mahal, karena mampu membuka selubung kehidupan malam sebagian masyarakat Jakarta yang suka memanjakan syahwat. Perlu diketahui saja, menyangkut masalah yang menjadi obyek investigasi Emka ini memang cenderung tertutup dan tersembunyi.
Memang, dalam seluruh tulisannya di buku ini, Emka sama sekali tidak memberikan sebuah penilaian atau analisis terhadap apa yang ia saksikan dan alami. Tapi, informasi dan fakta-fakta dari hasil investigasinya itu harus diakui merupakan satu informasi yang sangat mahal dan luar biasa yang tidak setiap orang mampu mendapatkannya.
Meski obyek yang dia tulis di buku ini menyangkut soal yang tak lepas dari dunia seks dan kemesuman, Emka menghindari uraian yang berbau pornografi. Ia sadar benar bahwa pada dasarnya yang ia ingin sampaikan hanyalah menyingkap realitas kehidupan malam Jakarta yang sebenarnya. Dan, dalam konteks ini pula, ia tak bermaksud menjadikan buku ini semacam sex-guide-tour.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar