Mengenai Saya

Foto saya
Nama asli saya Eka Surya Widjaja, Asal sih sebenernya dari lampung, tapi sekarang lagi kuliah di Jakarta tepatnya universitas Bina Nusantara alias binus University... Kalo ad yang mau kenal lebih deket add my friendster: missing_boys2007@yahoo.com or add my Ym:missing_boys2007@yahoo.com

Sabtu, 30 Agustus 2008

Jakarta Under Cover

Kota-kota besar memang sangat kental dengan berbagai sajian hiburannya. Kota-kota yang kerap dijuluki kota metropolitan seperti halnya Jakarta, punya ciri khas tersendiri dalam gaya hidup dan perilaku masyarakatnya. Gaya hidup yang paling khas di kota-kota besar tersebut adalah kehidupan malam. Kehidupan malam memang memiliki fenomena yang sangat menarik, sehingga tak habis-habisnya diamati, dikaji, dan dianalisa. Berbagai bisnis hiburan pun ada yang mengkhususkan hidup di malam hari seperti kafe, diskotek, klub, karaoke, dan tempat-tempat sejenisnya. Sebagai sebuah hiburan, di tempat-tempat tersebut beragam menu disajikan.

Gebyar kehidupan malam Jakarta seperti ini tentu sangat diminati sekelompok orang yang mencari sebentuk kepuasan pribadi, yang haus akan kebebasan dari belenggu aktivitas rutin sehari-hari. Ujung- ujungnya, tak jauh dari seks dan uang. Kehidupan semacam ini bisa diibaratkan sebuah medan magnet yang setiap saat bisa menggaet ’siapa pun’ masuk ke dalamnya, bahkan menjerumuskan dalam satu kehidupan semu dan samar. Di Jakarta, aneka warna kesenangan hidup bisa ditemukan di mana-mana, seperti di sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar hampir di setiap sudut kota, dari yang bertarget market untuk kalangan bawah, menengah, sampai jet set.

Fenomena ini kerap menjadi bagian liputan seorang Moammar Emka, sejak mejadi wartawan Harian Berita Yudha, Majalah Prospek, Tabliod Suaka Metro, Majalah Popular, hingga freelancer MATRA. Artikel-artikel yang pernah diterbitkannya ditambah beberapa artikel yang belum pernah diterbitkan di media mana pun ini yang kemudian disusunnya menjadi buku. Buku ini adalah sebuah perjalanan panjang Emka, menelusuri setiap fenomena kehidupan malam masyarakat Jakarta, khususnya mereka yang suka menghambur-hamburkan uang untuk mencari kenikmatan pribadi.

Dalam peliputannya Emka tidak saja masuk ke dalam berbagai tempat hiburan, tapi juga masuk dalam suatu kegiatan yang sengaja diadakan sekelompok orang, seperti pesta yang sengaja diselenggarakan sebagai bentuk penyaluran dalam memuaskan diri.

Ternyata dari berbagai perjalanan Emka, bisa kita dapati betapa bervariasinya menu hiburan malam di Jakarta. Namun hampir semua tak dapat lepas dari pemujaan terhadap kenikmatan badaniah (seks). Ada pijat, lulur, dan mandi uap lengkap dengan pedikur oleh sejumlah wanita cantik. Ada seks di dalam mobil-mobil mewah, yang oleh Emka diistilahkan “bulan madu pajero goyang”. Ada pula yang sudah berupa hunian khusus, di mana pria dan wanita bercampur jadi satu. Bahkan, ada yang lebih spektakuler, yakni memakan sushi-daging khas Jepang-di atas tubuh wanita bugil. Inilah yang oleh Emka diistilahkan sebagai ’sex sandwich sashimi girls’.

Pokoknya sekali putar Kota Jakarta, seorang penikmat menu ini sudah pasti menghabiskan jutaan rupiahnya. Bagi mereka yang berduit dan suka memanjakan diri untuk melampiaskan kebebasan seksualnya, Jakarta memang segalanya. Akan tetapi, sebagai menu yang telah dikomoditaskan itu, seks di Jakarta sesungguhnya tak lebih sebagai barang semu dan sangat artifisial.

Untuk memberikan variasi rasa pada pelanggan, setiap minggu atau bahkan setiap hari, menu itu memang selalu diubah dan diganti. Tapi, sesungguhnya tak satu pun yang mampu memberikan rasa kedalaman dalam diri, karena semua ujungnya adalah uang. Rayuan, kemanjaan yang disajikan perempuan-perempuan cantik di sana hanyalah bagian dari mekanisme pasar yang digerakkan oleh logika kapital.

Penuturan Emka ini cukup dramatis menggambarkan korelasi antara seks dan uang dalam kehidupan malam Jakarta. Sisi ini telah dipermak oleh para pebisnis kelenjar menjadi mesin yang begitu cepat untuk mencetak uang. Desahan, belaian, kelembutan, kecantikan, dan semacamnya telah dihargai secara nominal dan matematis.

Dari perilaku seksualnya, manusia memang bisa saja memperoleh gairah untuk menjalani hidup. Namun, bila semua tabu dan norma telah dilucuti, tentu amat sulit untuk membangkitkan kegairahan dalam menghayati kehidupan.

Fakta tentang kehidupan seksual di keremangan Jakarta yang diungkap Emka dalam buku ini, jelas tidak akan mampu memberikan makna mendalam bagaimana orang memahami kebutuhan seksnya. Sebab, sebagai komoditas, seks tak lebih sebagai model artifisial yang memanjakan libido.

Semua ini membuktikan bahwa gaya hidup metropolis lebih suka memanjakan kenikmatan hidup yang artifisial ketimbang merefleksikan kehidupan secara mendalam. Lebih suka gaya daripada makna. Betapa harga segala-galanya ketimbang nilai. Norma dan moral dilucuti dengan satu tujuan: bebas dari belenggu kehidupan. Telanjang dan bebas.

Memang, dalam seluruh tulisannya, Emka sama sekali tidak memberikan sebuah penilaian atau analisis terhadap apa yang ia saksikan dan alami. Tapi, informasi dan fakta-fakta dari hasil investigasinya itu harus diakui merupakan satu informasi yang sangat mahal dan luar biasa yang tidak setiap orang mampu mendapatkannya.

Namun demikian Emka tak bermaksud menjadikan buku ini semacam sex-guide-tour. Meskipun obyek yang dia tulis ini menyangkut soal yang tak lepas dari dunia seks dan kemesuman. Untuk itu Emka menghindari uraian yang berbau pornografi. Ia sadar benar bahwa pada dasarnya yang ia ingin sampaikan hanyalah menyingkap realitas kehidupan malam Jakarta yang sebenarnya.

1 komentar:

fachrie mengatakan...

dmna th tempatnya....
tau tauan lo sat